Yazid Albusthomi
Kamis, 05 April 2012
fatwa
Seorang mufti menggantikan kedudukan Nabi Saw. Dalam menyampaikan hukum-hukum syari’at, mengajarkan manusia, dan memberi nasehat kepada mereka agar sadar dan berhati-hati, disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan dari shahibusy-syari’ah (Nabi saw.), mufti jugamenggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil hukum-hukum melalui analisis dan ijtihadnya, sehingga jika dilihat dari sisi ini seorang mufti sebagaimana yang dikatakan Imam Syathibi juga sebagai pencetus hukum yang wajib diikuti dan dilaksanakan keputusannya.
3. Orang yang belum mencapai derajat mujtahid boleh memberikan fatwa bila di wilayah itu tidak ada orang yang mencapai derajat mujtahid yang memberikan fatwa. Karena dalam keadaan seperti ini sudah terdesak dan jika tidak diperbolehkan maka urusan hukum akan terlantar.
Makalah I'jaz Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
belakang masalah
Alam yang luas dan dipenuhi
makhluk-makhluk Allah SWT ini; gunung-gunungnya yang menjulang tinggi,
samuderanya yang melimpah, dan daratanya yang menghampar luas, menjadi kecil
dihadapan makhluk lemah, yaitu manusia. Itu semua disebabkan Allah SWT telah
menganugerahkan kepada makhluk manusia ini berbagai keistimewaan dan kelebihan
serta memberinya kekuatan berfikir cemerlang yang dapat menembus segala medan
untuk menundukkan unsur-unsur kekuatan alam tersebut dan menjadikanya sebagai
pelayan sebagai kepentingan kemanusiaan.
Allah SWT sama sekali tidak akan
menelantarkan manusia, tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari wahyu ke
wahyu, yang membimbingnya kejalan petunjuk sehingga mereka dapat menempuh liku-liku
hidup dan kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahuan. Namun watak
manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak kepada manusia lain yang
serupa denganya selama manusia lain itu tidak membawa kepadanya sesuatu yang
tidak disanggupinya hingga ia mengakui, Tunduk dan percaya akan kemampuan
manusia lain itu yang tinggi dan barada diatas kemampuanya sendiri. Oleh karena
itu rosul-rosul Allah SWT disamping diberi wahyu, juga mereka dibekali kekuatan
dengan hal-hal luar biasa yang dapat menegakkan hujjah atas manusia
sehingga mereka mengakui kelemahanya dihadapan hal-hal luar biasa tersebut serta
tunduk dan taat kepadanya.
Demikianlah Allah SWT talah
menentukan keabadian mukjizat islam sehigga kemampuan manusia menjadi tak
berdaya menandinginya, padahal waktu yang tersedia cukup panjang dan ilmu
pengetahuan pun telah maju pesat.
Rumusan masalah
1.
Definisi
i’jaz Al-Qur’an.
2.
Pendapat
Ulama tentang i’jaz al-Qur’an.
3.
Segi
kemukjizatan Al-Qur’an.
4.
Kadar
kemukjizatan al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
i’jaz (Kemukjizatan)
Kata mukjizat sudah menjadi bagian dari khazanah bahasa indonesia. Dalam bahasa Arab,
menggunakan istilah I’jaz al-Qur’an
atau mu’jizat Al-Qur’an. Berdasarkan makna kebahasaan, kata mu’jizat
merupakan salah satu perubahan dari lafal I’jaz yang bermakna
“melemahkan”. Oleh karena itu, I’jaz Qur’an mempunyai makna upaya pengokohan
al-Qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan manusia
yang berusaha menciptakan karya yang
serupa dengannya.[1]
Dengan demikian, didalam kandungan ayat al-Qur’an memperlihatkan kebenaran
al-Qur’an dan mampu melemahkan tentangan dari manusia.
I’jaz (kemukjizatan) adalah
menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidak mampuan
mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemu’jizatan telah terbukti,
maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan).yang dimaksud dangan
i’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalampengakuan
sebagai seorang Rosul dengan menampakkan kelemahan orang arab untuk menghadapi
mukjizatnya yang abadi, yaitu Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah
mereka. Dan mu’jizat (mukjizat) adalah sesuatu hal luar biasa yang
disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.
Pendapat Para
Ulama tentang I’jaz al-Qur’an
Setelah para ulama sepakat bahwa kemu’jizatan al-Qur’an itu karena dzatnya, serta tidak seorangpun yang sanggup mendatangkan sesuatu yang sebanding
dengannya, maka pandangan ulama berbeda-beda dalam meninjau segi
kemu’jizatannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemu’jizatan al-Qur’an adalah sesuatu
yang terkandung dalam al-Qur’an itu sendiri, yaitu susunan yang asing yang
berbeda dengan susunan orang arab pada umumnya.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemu’jizatan itu terkandung dalam lafadz-lafadznya yang jelas, redaksinya yang bersastra dan susunannya
yang indah, karena al-Qur’an sastranya termasuk yang tidak ada bandingannya.
Ulama lain berpendapat bahwa kemu’jizatan itu karena al-Qur’an terhinadar
dari adanya pertentangan, serta mengandung arti-arti yang lembut dan hal-hal
yang ghaib di luar kemampuan manusia dan di luar kekuasaan mereka untuk
mengetahuinya, seperti halnya al-Qur’an bersih dan selamat dari pertentangan
dan perselisihan pendapat.
Ada lagi yang berpendapat bahwa kemu’jizatan al-Qur’an adalah karena adanya
keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang menarik yang
terkandung dalam al-Qur’an, baik permulaan, tujuan, maupun dalam menutup setiap
surat.[2]
Segi
Kemu’jizatan al-Qur’an
1. Segi Bahasa
dan Susunan Redaksinya
Sejarah
telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai
tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini,
baik sebelum dan seudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah).
Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam
kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun
kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena
bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra,
karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki
kemampuan bahasa yang tidak bisa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam
berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam
sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap
dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.[3]
Selanjutnya
apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka jago dalam
bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan al-Quran dalam
segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun
terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan
tidak bisa dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya semakin
jauh lagi kemustahilan itu bisa dilakukan oleh mereka yang tidak ahli
dibidangnya.[4]
Berkaitan
dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan bangsa Arab untuk menyaingi
al-Quran para ulama banyak memberikan komentar yang mengisyaratkan adanya
perbedaan tentang ihwal ketidakmampuan itu bisa terjadi. Secara umum pendapat
ulama dalam masalah sebab terjadinya fenomena ketidakmampuan orang Arab untuk
menandingi al-Quran ada dua pendapat,[5]
yaitu:
a. Muncul dari
factor i’jaz yang terkait dan inheren dalam al-Quran
b. Muncul dari
luar al-Quran dengan adanya kesengajaan Allah untuk melemahkan orang Arab
secara intelektual (sharfah)
2. Segi Isyarat
Ilmiah
Pemaknaan
kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyyah adalah dorongan serta stimulasi
al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan
alam semesta yang mengitarinya.[6]
Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu
pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya
yang malah cenderung restriktif. Pada qkhirnya teori ilmu pengetahuan yang
telah lulus uji kebenaran ilmiahnya akan selalu koheren dengan al-Quran.
Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat
ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap
pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya
adalah :
a. “Dan Apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30). Dalam ayat ini terdapat isyarat ilmiah tentang
sejarah tata surya dan asal mulanya yang padu, kemudian terpisah-pisahnya
benda-benda langit (planet-planet), sebagian dari yang lain secara gradual.
Begitu juga di dalamnya terdapat isyarat tentang asal-usul kehidupan yaitu dari
air.
b. “Dan Kami
telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan
hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali
bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22) ayat ini meberikan isyarat
tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu juga tentang pembuahan serbuk
bunga tumbuh-tumbuhan.
c. “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam
Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan
mereka,” (QS. Al-Zalzalah: 6) adanyan
pemeliharaan dan pengabadian segala macam perbuatan manusia di dunia. Dan jika
ini dapat dilakukan manusia, maka pastilah itu jauh lebih mudah bagi Allah
d. “Bukan
demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan
sempurna.” (QS. Al-Qiyamah: 4) dianatara kepelikan penciptaan manusia adalah
sidik jarinya. Ayat ini menyebutkan kenyataan ilmiah bahwa tidak ada jari-jari
tangan seorang manusia yang bersidik jari yang sama dengan manusia yang lainnya
3. Segi Pemberitaan
yang Ghaib
Surat-surat dalam al-Quran mencakup banyak berita tentang hal ghaib.
Kapabilitas al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang hal-hal yang
ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya sebagai kitab
mukjizat. Akan tetapi pemberian informasi akan segala hal yang ghaib tidak
memonopoli seuruh aspek kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Diantara
contohnya adalah:
a. Keghaiban
masa lampau. Al-Quran sangat jelas dan fasih sekali dalam menjelaskan cerita
masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata yang langsung mengikuti jalannya
cerita. Dan tidak ada satupun dari kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti
kebenarannya. Diantaranya adalah: Kisah nabi Musa: Dan (ingatlah),
ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah
ejekan?”[62] Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi
salah seorang dari orang-orang yang jahil”.(QS. Al-baqarah: 67) Kisah
Fir’aun : 4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka
bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari
mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun Termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan. (QS. Al-Qoshosh: 4)
b. Keghaiban
masa sekarang. Terbukanya niat busuk orang munafik di masa rasulullah.. “Dan
di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik
hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal
ia adalah penantang yang paling keras”.(QS. Al-Baqarah: 204)
c. Keghaiban
masa yang akan dating. Ghulibatir ruum. Fii adnal ‘ardhii wahum min ba’di
ghalibiin sayaghlibun fi bid’i sinin (QS. Ar-Rum 2-4)
4. Segi
Petunjuk Penetapan Hukum Syara’
Diantara
hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa
al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi
umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa
al-Quran utnuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia. Antara lain contohnya :
a. Keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”. (QS. An-nahl: 90)
b. Mencegah
pertumpahan darah. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka
Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan dimuka bumi.”
c. Pertahanan
untuk menghancurkan fitnah dan agresi. “Dan perangilah mereka itu, sehingga
tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi),
kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)
Kadar
Kemukjizatan Al-Quran
Al-Qur’an ditinjau dari tiga aspek
merupakan mukjizat, 1. Lafaz; 2. Kandungan; 3. Pembawanya. Seberapa besar kadar
Ilahiah yang ditunjukkan masing-masing dari ketiga sisi ini?
Secara umum,
sebagian aspek kemukjizatan (i’jaz) menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak pada
zaman pewahyuannya, tidak pada zaman lainnya, tidak dapat bersumber dari
selain-Nya dan hanya bersumber dari Tuhan. Sebagaimana kemukjizatan kefasihan
al-Qur’an tidak terkhusus pada ruang dan waktu tertentu maka jenis kemukjizatan
ini tidak dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak pada masa pewahyuannya juga
tidak di masa akan datang. Namun dari sebagian aspek kemukjizatan al-Qur’an
menunjukkan bahwa pada masa itu al-Qur’an tidak dapat bersumber dari selain
Tuhan, seperti aspek kedua, dimensi kemukjizatan kandungan al-Qur’an (dengan
asumsi seluruh ilmu dan pengetahuan al-Qur’an sekarang juga telah dikenal dan
dapat diakses oleh seluruh manusia).
Dari sisi lain,
sebagian aspek ini terkait dengan masalah tipologi pembawanya. Artinya bahwa
baik pada masa lampau, masa kini atau masa datang, pembawanya yang tidak pernah
mengenyam pendidikan tidak mampu membawa kitab semacam ini, sementara pada
sebagian dimensi kemukjizatan al-Qur’an diperkenalkan sebagai mukjizat sejarah
untuk setiap masa, seluruh semesta, pada setiap ruang dan waktu, sedemikian
sehingga selamanya tidak seorang pun manusia yang mampu menghadirkan kitab
semacam ini.
Kini mari kita saksikan seberapa besar kadar ke-Ilahian al-Qur’an dapat dibuktikan dan ditetapkan dari masing-masing tiga dimensi kemukjizatan.
Kemukjizatan dari sudut pandang pembawanya hanya dapat menetapkan bahwa kandungan al-Qur’an berasal dari sisi Tuhan, adapun persoalan bahwa lafaz-lafaz bersumber darinya tidak dapat dibuktikan dan tetapkan.[7]
Apabila disebutkan bahwa Nabi Saw tidak dapat menghadirkan lafaz-lafaz ini dari sisinya, atau redaksi-redaksi sedemikian ia gunakan, maka lafaz-lafaz dan redaksi serta susunannya juga bercorak Ilahi, kita akan berkata bahwa masalah ini kembali kepada permasalahan kefasihan dan elokuensi al-Qur’an yang sejatinya adalah kemukjizatan elokuensi al-Qur’an. Lalu kesimpulannya ia tidak dapat dipandang sebagai kemukjizatan dari aspek pembawanya. Kecuali diklaim bahwa kendati kita tidak dapat menetapkan bahwa kefasihan tersebut mustahil bersumber selain dari Tuhan, namun setidaknya, bagi Rasulullah Saw hal sedemikian mustahil adanya.
Dengan bersandar kepada aspek ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa lafaz-lafaz, redaksi-redaksi dan susunan-susunan al-Qur’an juga bersumber dari Allah Swt.
Empat aspek yang disebutkan terkait kemukjizatan kandungan al-Qur’an,[8] yang dapat ditetapkan hanyalah corak Ilahianya kandungan al-Qur’an.
Namun aspek kemukjizatan lafaz al-Qur’an ini – kemukjizatan elokuensi dan bilangan – menetapkan bahwa lafaz-lafaz dan susunan-susunan al-Qur’an juga bersumber dari Allah Swt.[9]
Kini mari kita saksikan seberapa besar kadar ke-Ilahian al-Qur’an dapat dibuktikan dan ditetapkan dari masing-masing tiga dimensi kemukjizatan.
Kemukjizatan dari sudut pandang pembawanya hanya dapat menetapkan bahwa kandungan al-Qur’an berasal dari sisi Tuhan, adapun persoalan bahwa lafaz-lafaz bersumber darinya tidak dapat dibuktikan dan tetapkan.[7]
Apabila disebutkan bahwa Nabi Saw tidak dapat menghadirkan lafaz-lafaz ini dari sisinya, atau redaksi-redaksi sedemikian ia gunakan, maka lafaz-lafaz dan redaksi serta susunannya juga bercorak Ilahi, kita akan berkata bahwa masalah ini kembali kepada permasalahan kefasihan dan elokuensi al-Qur’an yang sejatinya adalah kemukjizatan elokuensi al-Qur’an. Lalu kesimpulannya ia tidak dapat dipandang sebagai kemukjizatan dari aspek pembawanya. Kecuali diklaim bahwa kendati kita tidak dapat menetapkan bahwa kefasihan tersebut mustahil bersumber selain dari Tuhan, namun setidaknya, bagi Rasulullah Saw hal sedemikian mustahil adanya.
Dengan bersandar kepada aspek ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa lafaz-lafaz, redaksi-redaksi dan susunan-susunan al-Qur’an juga bersumber dari Allah Swt.
Empat aspek yang disebutkan terkait kemukjizatan kandungan al-Qur’an,[8] yang dapat ditetapkan hanyalah corak Ilahianya kandungan al-Qur’an.
Namun aspek kemukjizatan lafaz al-Qur’an ini – kemukjizatan elokuensi dan bilangan – menetapkan bahwa lafaz-lafaz dan susunan-susunan al-Qur’an juga bersumber dari Allah Swt.[9]
Contoh-contoh ayat.
y]yèt7sù ª!$# $\/#{äî ß]ysö7t Îû ÇÚöF{$# ¼çmtÎãÏ9 y#øx. ͺuqã nouäöqy ÏmÅzr& 4 tA$s% #ÓtLn=÷uq»t ßN÷yftãr& ÷br& tbqä.r& @÷WÏB #x»yd É>#{äóø9$# yͺuré'sù nouäöqy ÓÅr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBÏ»¨Y9$# ÇÌÊÈ
31. kemudian Allah menyuruh seekor burung
gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
seharusnya menguburkan mayat saudaranya.[10]
berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena
itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (Q.S. Al-Maidah :
31)
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù't È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# w tbqè?ù't ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur c%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZÎgsß ÇÑÑÈ
88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (Q.S. Al-Isra’ : 88)
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷u $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrß «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÌÈ
23. dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31]
satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.[11]
(Q.S. Al-Baqarah : 23)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah dapat di ambil
kesimpulan bahwa Al-Qur'an ini adalah Mukjizat terbesar yang diberikan Allah
kepada Nabi Muhammad SAW. Kita tahu bahwa setiap Nabi diutus Allah selalu
dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap
pesan atau misi yang dibawa oleh Nabi.
Mukjizat ini
selalu dikaitkan dengan keadaan masyarakat yang dihadapi tiap-tiap Nabi, setiap
mukjizat bersifat menantang baik secara tegas maupun tidak. Oleh karena itu
tantangan tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya. Itulah
sebabnya jenis mukjizat yang diberikan kepada para Nabi selalu disesuaikan
dengan keadaan yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan
bagi masyarakat yang ditantang tersebut.
Demikianlah
dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua
pihak, kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini
selanjutnya
Daftar Pustaka
Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul
Qur’an. Bandung: Humaniora
Al-Qathan, Manna’.1973. Al-Mabahis fi Ulumil Quran. Mesir:
Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis
Ash-Shabuni, Muhammad Ali.1987. Pengantar Studi Al-Quran, terjemah H. Muhammad
Khudhori Umar dan Muh. Matsna HS. Bandung: Al Ma’arif
Zarqani, Muhammad. Manahilul Irfan fi
Ulumil Quran, Juz III. Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi, t.t.
Hasbunabi, Mansur. al-Kaun wa al-I’jaz fi al-Quran, Libanon: Dar
el-Fikr al-Araby, tt.
[1] Izzan,
Ahmad. Ulumul Qur’an. (Bandung: Humaniora 2011) hlm. 140
[2] Muhammad Ali Ash Shabuni. Pengantar
Studi AlQuran, terjemah H. Muhammad Khudhori Umar dan Muh.
Matsna HS (Bandung: Al Ma’arif, 1987), hlm. 117-118
[3] Manna’
al-Qathan, al-Mabahis fi Ulumil Quran, Mesir: Mansyurat Al-Ashr
Al-Hadis, 1973 hlm. 264-265.
[4] Muhammad
Zarqani. Manahilul Irfan fi
Ulumil Quran, Juz III.
Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi, t.t. hlm. 332
[5] Manna’ al-Qathan. Mabahis fi ulumil
Quran, hlm. 261
[6] Mansur Hasbunabi. al-Kaun wa al-I’jaz
fi al-Quran, Libanon: Dar el-Fikr al-Araby, hlm. 19-20
[7]
Sebagian orang juga menerima ucapan ini dan berkata: "Kendati kandungan
al-Qur'an bersumber dari Tuhan (bercorak Ilahi) namun lafaz-lafaznya berasal
dari Nabi Saw sendiri. Padahal ulama Islam semenjak dahulu hingga sekarang
meyakini bahwa perbedaan antara hadis Qudsi dan al-Qur'an terdapat pada poin
ini dimana kandungan hadis Qudsi berasal dari Tuhan dan lafaz-lafaznya dari
manusia, Nabi Muhammad Saw. Sementara al-Qur'an lafaz-lafaznya juga bersumber
dari Tuhan.
[8] Lihat
indeks Kemukjizatan al-Qur'an
[9]
Barangkali sebab penegasan ulama kita, semenjak dahulu hingga sekarang, terkait
dengan kemukjizatan elokuensi al-Qur'an adalah mereka melihat terangnya
petunjuknya.
[10]
Dipahami dari ayat ini bahwa manusia banyak
pula mengambil pelajaran dari alam dan jangan segan-segan mengambil pelajaran dari yang lebih rendah
tingkatan pengetahuannya.
[11]
Ayat ini merupakan tantangan
bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru
walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan
mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
Langganan:
Postingan (Atom)