Kamis, 05 April 2012

fatwa

PENDAHULUAN

Latar belakang masalah

            Menjawab sebuah pertanyaan itu suatu hal yang tidak mudah. Adapun perlu adanya ilmu yang mendasar untuk bisa menjawab segala persoalan. Persoalan yang sangat rumit membuat kita pusing. Dengan berbagai macam pertanyaan, membuat kita dipaksa untuk menjawab. Oleh karena itu dalam menjawab mempunyai tiga pilihan yang perlu kita ketahui. Pertama, berbohong, dan ini apa lagi dalam bidang agama merupakan dosa besar. Kedua: menduga-duga atau mengira-ngira, karena kekaburan pengetahuan. Dalam menjawab seperti itu boleh diterima, tetapi Al-qur’an mengingatkan kepada kita bahwa  (Q.S Al-Hujurat : 12)

12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

 Bahkan al-Qur’an surat al-Njm : 28

28. dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.

Pilihan ketiga adalah menjawab pertanyaaan denagan pernyatan “saya tidak tahu”. Menjawab seperti inilah yang diajarkan Allah sesuai firmannya :

 

31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

32. mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."

            Bahkan sebaian ulama’ pun enggan dalam memberikan jawaban dengan harapan ada selainnya yang dapat memberikan ketenaangan, karena seperti sabda nabi yang disampaikan oleh abdullah bin Ja’far. “yang paling berani berfatwa diantara kamu adalah yang palung berani terhadap neraka.”

            Penulis bingung dari peryataan diatas, oleh karena itu penulis sedikit menguraikan wawasan dalam menjawab persoalan. Dalam memjawab persoalan mengenai agama itu dinamakan fatwa. Dari hal tersebut, kami akan mencari jawaban dari apa, bagaimana tentang fatwa.

Rumusan masalah

1.      Apa definisi Fatwa?

2.      Bagaimana cara mengerjakan fatwa?

3.      Apa saja kedudukan fatwa?

4.      Contoh-contoh fatwa.

Tujuan pembelajaran

Tujuan untuk mempelajari fatwa ini untuk memahami seuah persoalan yang berbeda. Akan tetapi dalam memahami pendapat yang berbeda, tidak akan menjadi persoalan yang paling benar, karena semuanya mempunyai dasar yang kuat. Oleh karena itu, agar lebih berhati-hati dalam menjawab sebuah persoalan.

 

PEMBAHASAN

Definisi Fatwa

Fatwa menurut bahasa berarti “jawaban mengenahi suatu kejadian (peristiwa)”, yang merupakan bentukan sebagaimana dikatakan zamakhsyari dalam al-Khasyasyaf dari kata (al-fataa/pemuda) dala usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah).

Sedangkan menurut pengertian  fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan  maupun kolektif.[1]

Pernyataan diatas sangat jelas, dan bisa kami uraikan bahwa fatwa adalah nasehat, atau petuah yang diberikan kepada yang bertanya baik pereorangan maupun kolektif. Hal  itu dapat kita bedakan antara menjawab atau menfatwakan sebuah persolan. Apabila kita menjawab sebuah pertanyan itu tanpa mempunyai dasar yang kuat itu bisa disebut menjawab. Adapun ketika kita menjawab pertanyaan berupa persolan itu didasari dengan dasar-dasar al-Qur’an dan Hadits.

Cara mengerjakan fatwa

Cara yang digunakan dalam mempergunakan fatwa ini tanpa fanatik dan taqlid, bebas dari pengaruh mazhab dan ikut-ikutan secara buta, baik pengaruh dari orang-orang dahulu maupun sekarang. Disamping menghormati ulama’- ulama’ dan ahli-ahli fiqh khususnya, sesuai dengan ajaran dan pesan mereka, agar mereka jangan ditiru atau meniru yang lainya, tetapi hendaknya mengambil masalah itu dari sumber yang mereka ambil.[2]

Cara yang demikian tidak mengaruskan bagi seorang ulama’ yang independen, bebas dan memiliki ilmu yang sederajat dengan ilmu para ulama’ terdahulu. Tetapi dalam hal demikian memungkinkan dan tidak dilarang dalam melakukan ijtihad. Oleh karena itu, Para ulama’ harus mempunyai pendapat (pandangan) yang berbeda, antara lain:

Pertama: tidak memandang suatu  masalah itu benar tanpa menunjukkan dalil yang kuat dan, karena pendapat itu tidak ada yang menentangnya. Hal itu tidak dapat dipakai  sebagai suatu pedoman, jika tidak disertai dalil.

Kedua: dapat menguatkan hal-hal yang khilaf dengan mempertimbangkan dalilnya dan melihat denagn teliti sanadnya, apakah kuat atau lemah? Sehingga dapat memilih mana yang sesuai dan dekat pada tujuan agama dan kepentingan masyarakat.

Hal ini tidaklah sulit bagi yang memiliki pengetahuan luas dibidang bahasa arab, ilmu agama dab syari’at misalnya ilmu tafsir hadis serta perbandingan, dan faham tujuan utama dari hukum-hukum agama.

Ketiga: bagi mujtahid harus memiki keahlian pada masalah-masalah tertantu dan sebagainya, sehingga dapat memberi dalil dan nash yang kuat atau masalah-masalah lain yang bersamaan, dan memunyai nash yang sama, atau dijadikannya suatu masalah yang penting, baik dan sebagainya, dari sumber-sumber yang memiliki hubungan dengan agama.

Dengan demikian, para pemberi fatwa (mufti) saling memahami sebuah pendapat yang ada dalilnya yang kuat. Ilmu dan pengetahuan yang wajib dimiliki seorang mufti bukanlah sagala-galanya, karena disamping ilmu harus ada amal, dan disamping amal harus ada perasaan takut kepada Allah SWT. Ilmu yang tidak membuahkan rasa takut dan taqwa kepada Allah tidak ada nilainya dalam timbangan kebenaran.[3]

Oleh karena itu, menjadi seorang mufti ini tidak sembarang menjadi mufti ketika menfatwakan persoalan. Untuk itu dijelaskan dalam al-Qur’an yang artinya “sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama.......”(Fathir: 28).

Kedudukan fatwa

Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat penting, karena mufti (pemberi fatwa) sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi merupakan pelanjut tugas nabi saw. Sehingga ia berkedudukan sebagai khalifah dan ahli waris beliau:

Yang artinya: “Ulama’ merupakan ahli waris para Nabi”

Seorang mufti menggantikan kedudukan Nabi Saw. Dalam menyampaikan hukum-hukum syari’at, mengajarkan manusia, dan memberi nasehat kepada mereka agar sadar dan berhati-hati, disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan  dari shahibusy-syari’ah (Nabi saw.), mufti jugamenggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil hukum-hukum melalui analisis dan ijtihadnya, sehingga jika dilihat dari sisi ini seorang mufti sebagaimana yang dikatakan Imam Syathibi  juga sebagai pencetus hukum yang wajib diikuti dan dilaksanakan keputusannya.
inilah Khafilah (pengganti tugas) yang sesungguhnya.[4]

Para ulama’ salaf r.a. telah mengetahui betapa mulia, agung, dan berpengaruhnya fatwa didalam agama Allah dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu mereka mengemukakan beberapa hal:

1.      Takut memberi fatwa

Mereka sangat takut dan berhati-hati dalam memberikan fatwa. Bahkan terkadang mereka berdiam diri dan tidak memfatwakan seuatu. Mereka menghormati orng yang mengatakan “aku tidak tahu” mengenai sesutu yang tidak diketahuinya, dan memarahi orang-orangyang lancang dalam menfatwakan tanpa mempunyai pengetahuan yang mendalam. Mereka bersikap demikian demi mengagungkan fatwa dan merasakan besarnya dampak yang ditimbulkan.

            Orang yang paling awal bersikap demikian adalah para sahabat. Banyak diantara mereka yang tidak mau memberikan jawaban terhadap sesuatu pertanyaan hingga didiskusikan kepada para sahabat lain, padahal mereka telah diberi karunia oleh Allah berua pikmiran  yang tajam, bersih, terbimbing, dan lurus.  Bagaimana mereka bersikap demikian, karena Rasulullah saw terkadang memberikan jawaban ketika ditanya tentang sesuatu sehingga beliau tanyakan kepada Malaikat jibril lebih dahulu.

            Ada sebuah peristiwa Al-Qasim bin Muhammad salah seorang dari fuqaha tujuh dimadinah, pernah ditanya tentang suatu permasalahan, lalu menjawab: “saya tidak mengetahui”. Kemudian sipenyanya berkata kepadanya “saya datang kepadamu karena saya tidak mengetahui orang yang lebih layak selain engkau” Al-Qasim menjawab, “janganlah engkau melihat panjangnya jenggotku dan banyak orang di sekelilingku . Demi Allah saya tidak mengetahui.” Lalu seorang tua dari Qurasy yang duduk disampingnya berkata’ “Wahai anak saudaraku, penuhilah hal itu. Demi Allah, pada haari itu aku tidak melihat orang yang lebih pandai daripadamu didalam majelis ini.” Lantas al-qasim berkata, “Demi Allah, seandainya lidahku dipoyon, maka yang demikian itu lebih aku sukai daripada aku mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti.”[5]

            Sungguh luar biasa dan mulianya orang yang mengagungkan fatwa. Dengan mengatakan “saya tidak tahu”. Hal itu tidak dijadikan pedoman untuk tidak mencari ilmu demi mengagungkan fatwa, tetapi jawaban itu hanyalah jawaban awal atau jawaban sementara menunggu petunjuk Allah untuk menjawab peroalan.

 

2.      Mengingkari Orang yang berfatwa Tanpa Berdasarkan Ilmu

Para salaf sangat meningkari orang yang terjun didalam bidang fatwa sementara dia tidak berkelayakan untuk melakukan hal itu. Mereka menganggap sikap yang demikian itu sebagai sesuatu celaah kerusakan dalam islam, bahkan merupakan kemungkaran besar yang wajib dicegah.

            Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan bahwa “barangsiapa memberi fatwa sedangkan dia tidak berkelayakan untuk berfatwa, maka dia berdosa dan berbuat maksiat. Demikian pula , barangsiapa dari kalangan penguasa yang mengakuinya, maka ia juga berarti telah berbuat maksiat.”

            Ibaratkan apabila pemerintah berkewajiban melarang orang yang tidak mengerti ilmu kedokteran untuk mengobati orang-orangsakit, maka bagaimana lagi terhadap orang yang tidak mengerti  al-Qur’an dan as-sunnah serta tidak mengerti agama?.

3.      Ilmu dan Pengetahuan Mufti

Mufti (ahli fatwa) atau faqih (ahli fiqh)  yang memnggantikan tugas Nabi saw. Bahkan sebagai penerima mandat dari  Allah SWT (untuk menyampaikan agama). Sudah layaknya memiliki pengetahuan yang luas tentang islam, menguasai dalil-dalil hukum islam, mengerti bahasa Arab dan sastranya. Oleh karena itu, selain ,engerti tentang fiqih dan mempunyai kemampuan untuk melakukan istimbath (menggali dan mencetuskan hukum dari dalil-dalil dan kaidah-kaidahnya).

“Tidak halal seseorang yang memberikan fatwa tentang agama Allah, kecuali ia mengerti seluk beluk kitab Allah : tentang nasikh dan mansukh-Nya,  muhkam dan mutasyabih-Nya, takwil dan tanzil-Nya, makiyah dan madaniahnya, apa yang dikehendakinya, dan dalam hal apa ayat tersebut diturunkan. Setelah itu, ia mengerti tentang hadits Rasulullah saw. Mengerti tentang nasikh dan mansukh-nya, mengerti seluk-beluk hadits sebagaimana seluk-beluk al-Qur’an, mengerti bahasa Arab dan mengerti nilai rasa bahasa Arab, mengerti persoalan (perangkat) yang diperlukan oleh ilmu dan al-Qur’an. Setelah itu, ia menghormati perbedaan pendapat para ahli pikir, dan punya  potensi untuk berfatwa. Kalau semua syarat tersebut ada pada dirinya, maka bolehlah ia berbicara dan berfatwa tentang halal dan haram. Namun, jika tidak demikian , ia boleh berbicara ihwal ilmu tetapi tidak boleh memberi fatwa.”[6]

Definisi dan Syarat-syarat Mufti

Secara sederhana ifta’ (memberikan fatwa) dapat diartikan sebagai “usaha memberikan pernjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”. Sedangkan mufti sendiri adalah orang yang berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat.

Umat akan selamat bila ia memberikan fatwa yang benar dan akan tersesat bila ia salah dalam memebrikan fatwa. Oleh dengan demikian ia harus memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat seorang mufti dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

1.      Syarat umum. Karena ia akan menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan hukum syara’dan pelaksanaannya maka ia haruslaah seorang mukalaf yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya.

      2.      Syarat keilmuan, yaitu bahwa ia ahli dan memiliki kemampuan untuk berijtihad. Untuk itu ia harus memiliki syarat-syarat sebagaimana syarat yang berlaku bagi seorang mujtahid antara lain  mengetahui dalil-dalil sam’i dan dalil-dalil aqli.

      3.      Syarat kepribadian, yaitu adil dan dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut dari seorang mufti karena secara langsung ia akan menjadi panutan umat dalam beragama.

      4.      Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai sebagai ulama’ panutan yang oleh al-hamidi diuaraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang dan berkecukupan. Ditambahkan sifat lain oleh imam ahmad sebagaimana dinukil oleh Al-Qoyyim yaitu: mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat.

Selanjutnya muncul permasalahan, bolehkan seorang seseorang yang belum mencapai tingakat mujtahid memberikan fatwa?. Dalam hal ini meringkas beberapa pendapat, yaitu:

      1.      Orang yang memiliki kemampuan untuk tafri’ dan tarjih meskipun belum mencapai derajat  mujtahid (maksudnya adalah mujtahid mutlak) boleh berfatwa dengan berpedoman kepada madzhab imam mujtahid yang diikutinya dengan ketentuan ia memahami secara baik madzhab imam yang dijadikan sebagai  rujukan dan meyakini pendapat imamnya tersebut lebih kuat.

       2.      Tidak boleh orang dalam tingakatan seperti ini memberikan fatwa karena ia belum memenuhi kemampuan berijtihad. Memberikan fatwa itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang mencapai derajat mujtahid.

       3.      Orang yang belum mencapai derajat mujtahid boleh memberikan fatwa bila di wilayah itu tidak ada orang yang mencapai derajat mujtahid yang memberikan fatwa. Karena dalam keadaan seperti ini sudah terdesak dan jika tidak diperbolehkan maka urusan hukum akan terlantar.          
 4.
      Seorang muqallid boleh membrikan fatwa meski belum mempunyai kemampuan untuk tafri’ dan tarjih. Karena tugasnya hanya menukilkan pendapat imamnya waktu memberi fatwa, meski ia tidak menjelaskan sumber rujukannya. Inilah yang sering berlaku waktu ini.[7]

 

 

Daftar pustaka

Qardhawi, yusuf. 1997. Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan. Jakarta: gema insani press

Qardhawi, yusuf.1996. fatwa qarhawi:  permasalahan, pemecahan dan hikmah. Surabaya: Risalah Gusti

Syarifudin, Amir. 2008. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana

 



[1]  Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan, hlm.5

[2]  fatwa qardhawi permasalahan, pemecahan dan hikmah, hlm.1

[3] Fatwa: antara penilitian dan kecerobohan, hlm. 33

[4] Lihat al-Muwafaqat, karya asy-Syathibi, jus 4, hlm.244-246, dengan tahqiq Syeh Abdullah Daraz.

[5] Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan, hlm. 17

[6] Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan hlm. 25

[7] Prof. Dr. H. Amir Syarifudin. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2008). Hal. 457-458

Makalah I'jaz Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang masalah

            Alam yang luas dan dipenuhi makhluk-makhluk Allah SWT ini; gunung-gunungnya yang menjulang tinggi, samuderanya yang melimpah, dan daratanya yang menghampar luas, menjadi kecil dihadapan makhluk lemah, yaitu manusia. Itu semua disebabkan Allah SWT telah menganugerahkan kepada makhluk manusia ini berbagai keistimewaan dan kelebihan serta memberinya kekuatan berfikir cemerlang yang dapat menembus segala medan untuk menundukkan unsur-unsur kekuatan alam tersebut dan menjadikanya sebagai pelayan sebagai kepentingan kemanusiaan.
            Allah SWT sama sekali tidak akan menelantarkan manusia, tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari wahyu ke wahyu, yang membimbingnya kejalan petunjuk sehingga mereka dapat menempuh liku-liku hidup dan kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahuan. Namun watak manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak kepada manusia lain yang serupa denganya selama manusia lain itu tidak membawa kepadanya sesuatu yang tidak disanggupinya hingga ia mengakui, Tunduk dan percaya akan kemampuan manusia lain itu yang tinggi dan barada diatas kemampuanya sendiri. Oleh karena itu rosul-rosul Allah SWT disamping diberi wahyu, juga mereka dibekali kekuatan dengan hal-hal luar biasa yang dapat menegakkan hujjah atas manusia sehingga mereka mengakui kelemahanya dihadapan hal-hal luar biasa tersebut serta tunduk dan taat kepadanya.
            Demikianlah Allah SWT talah menentukan keabadian mukjizat islam sehigga kemampuan manusia menjadi tak berdaya menandinginya, padahal waktu yang tersedia cukup panjang dan ilmu pengetahuan pun telah maju pesat.

Rumusan masalah
1.      Definisi i’jaz Al-Qur’an.
2.      Pendapat Ulama tentang i’jaz al-Qur’an.
3.      Segi kemukjizatan Al-Qur’an.
4.      Kadar kemukjizatan al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

Definisi  i’jaz (Kemukjizatan)

Kata mukjizat sudah menjadi bagian dari khazanah  bahasa indonesia. Dalam bahasa Arab, menggunakan istilah  I’jaz al-Qur’an atau mu’jizat Al-Qur’an. Berdasarkan makna kebahasaan, kata mu’jizat merupakan salah satu perubahan dari lafal I’jaz yang bermakna “melemahkan”. Oleh karena itu, I’jaz Qur’an mempunyai makna upaya pengokohan al-Qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan manusia yang  berusaha menciptakan karya yang serupa dengannya.[1] Dengan demikian, didalam kandungan ayat al-Qur’an memperlihatkan kebenaran al-Qur’an dan mampu melemahkan tentangan dari manusia.
            I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemu’jizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan).yang dimaksud dangan i’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalampengakuan sebagai seorang Rosul dengan menampakkan kelemahan orang arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Dan mu’jizat (mukjizat) adalah sesuatu hal luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.
Pendapat Para Ulama tentang I’jaz al-Qur’an
Setelah para ulama sepakat bahwa kemu’jizatan al-Qur’an itu karena dzatnya, serta tidak seorangpun yang sanggup mendatangkan sesuatu yang sebanding dengannya, maka pandangan ulama berbeda-beda dalam meninjau segi kemu’jizatannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemu’jizatan al-Qur’an adalah sesuatu yang terkandung dalam al-Qur’an itu sendiri, yaitu susunan yang asing yang berbeda dengan susunan orang arab pada umumnya.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemu’jizatan itu terkandung dalam lafadz-lafadznya yang jelas, redaksinya yang bersastra dan susunannya yang indah, karena al-Qur’an sastranya termasuk yang tidak ada bandingannya.
Ulama lain berpendapat bahwa kemu’jizatan itu karena al-Qur’an terhinadar dari adanya pertentangan, serta mengandung arti-arti yang lembut dan hal-hal yang ghaib di luar kemampuan manusia dan di luar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya, seperti halnya al-Qur’an bersih dan selamat dari pertentangan dan perselisihan pendapat.
Ada lagi yang berpendapat bahwa kemu’jizatan al-Qur’an adalah karena adanya keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang menarik yang terkandung dalam al-Qur’an, baik permulaan, tujuan, maupun dalam menutup setiap surat.[2]
Segi Kemu’jizatan al-Qur’an
1. Segi Bahasa dan Susunan Redaksinya
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan seudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bisa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.[3]
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka jago dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan tidak bisa dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya semakin jauh lagi kemustahilan itu bisa dilakukan oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.[4]
Berkaitan dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan bangsa Arab untuk menyaingi al-Quran para ulama banyak memberikan komentar yang mengisyaratkan adanya perbedaan tentang ihwal ketidakmampuan itu bisa terjadi. Secara umum pendapat ulama dalam masalah sebab terjadinya fenomena ketidakmampuan orang Arab untuk menandingi al-Quran ada dua pendapat,[5] yaitu:
a. Muncul dari factor i’jaz yang terkait dan inheren dalam al-Quran
b. Muncul dari luar al-Quran dengan adanya kesengajaan Allah untuk melemahkan orang Arab secara intelektual (sharfah)
2. Segi Isyarat Ilmiah
Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyyah adalah dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya.[6] Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif. Pada qkhirnya teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran ilmiahnya akan selalu koheren dengan al-Quran. Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya adalah :
a. “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30). Dalam ayat ini terdapat isyarat ilmiah tentang sejarah tata surya dan asal mulanya yang padu, kemudian terpisah-pisahnya benda-benda langit (planet-planet), sebagian dari yang lain secara gradual. Begitu juga di dalamnya terdapat isyarat tentang asal-usul kehidupan yaitu dari air.
b. “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22) ayat ini meberikan isyarat tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu juga tentang pembuahan serbuk bunga tumbuh-tumbuhan.
c. “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” (QS. Al-Zalzalah: 6) adanyan pemeliharaan dan pengabadian segala macam perbuatan manusia di dunia. Dan jika ini dapat dilakukan manusia, maka pastilah itu jauh lebih mudah bagi Allah
d. “Bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS. Al-Qiyamah: 4) dianatara kepelikan penciptaan manusia adalah sidik jarinya. Ayat ini menyebutkan kenyataan ilmiah bahwa tidak ada jari-jari tangan seorang manusia yang bersidik jari yang sama dengan manusia yang lainnya
3. Segi Pemberitaan yang Ghaib
Surat-surat dalam al-Quran mencakup banyak berita tentang hal ghaib. Kapabilitas al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang hal-hal yang ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya sebagai kitab mukjizat. Akan tetapi pemberian informasi akan segala hal yang ghaib tidak memonopoli seuruh aspek kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Diantara contohnya adalah:
a. Keghaiban masa lampau. Al-Quran sangat jelas dan fasih sekali dalam menjelaskan cerita masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata yang langsung mengikuti jalannya cerita. Dan tidak ada satupun dari kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti kebenarannya. Diantaranya adalah: Kisah nabi Musa: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?”[62] Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil”.(QS. Al-baqarah: 67) Kisah Fir’aun : 4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qoshosh: 4)
b. Keghaiban masa sekarang. Terbukanya niat busuk orang munafik di masa rasulullah.. “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras”.(QS. Al-Baqarah: 204)
c. Keghaiban masa yang akan dating. Ghulibatir ruum. Fii adnal ‘ardhii wahum min ba’di ghalibiin sayaghlibun fi bid’i sinin (QS. Ar-Rum 2-4)
4. Segi Petunjuk Penetapan Hukum Syara’
Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran utnuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Antara lain contohnya :
a. Keadilan. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-nahl: 90)
b. Mencegah pertumpahan darah. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
c. Pertahanan untuk menghancurkan fitnah dan agresi. “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)
Kadar Kemukjizatan Al-Quran  
Al-Qur’an ditinjau dari tiga aspek merupakan mukjizat, 1. Lafaz; 2. Kandungan; 3. Pembawanya. Seberapa besar kadar Ilahiah yang ditunjukkan masing-masing dari ketiga sisi ini?
Secara umum, sebagian aspek kemukjizatan (i’jaz) menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak pada zaman pewahyuannya, tidak pada zaman lainnya, tidak dapat bersumber dari selain-Nya dan hanya bersumber dari Tuhan. Sebagaimana kemukjizatan kefasihan al-Qur’an tidak terkhusus pada ruang dan waktu tertentu maka jenis kemukjizatan ini tidak dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak pada masa pewahyuannya juga tidak di masa akan datang. Namun dari sebagian aspek kemukjizatan al-Qur’an menunjukkan bahwa pada masa itu al-Qur’an tidak dapat bersumber dari selain Tuhan, seperti aspek kedua, dimensi kemukjizatan kandungan al-Qur’an (dengan asumsi seluruh ilmu dan pengetahuan al-Qur’an sekarang juga telah dikenal dan dapat diakses oleh seluruh manusia).
Dari sisi lain, sebagian aspek ini terkait dengan masalah tipologi pembawanya. Artinya bahwa baik pada masa lampau, masa kini atau masa datang, pembawanya yang tidak pernah mengenyam pendidikan tidak mampu membawa kitab semacam ini, sementara pada sebagian dimensi kemukjizatan al-Qur’an diperkenalkan sebagai mukjizat sejarah untuk setiap masa, seluruh semesta, pada setiap ruang dan waktu, sedemikian sehingga selamanya tidak seorang pun manusia yang mampu menghadirkan kitab semacam ini.

Kini mari kita saksikan seberapa besar kadar ke-Ilahian al-Qur’an dapat dibuktikan dan ditetapkan dari masing-masing tiga dimensi kemukjizatan.

Kemukjizatan dari sudut pandang pembawanya hanya dapat menetapkan bahwa kandungan al-Qur’an berasal dari sisi Tuhan, adapun persoalan bahwa lafaz-lafaz bersumber darinya tidak dapat dibuktikan dan tetapkan.[7]

Apabila disebutkan bahwa Nabi Saw tidak dapat menghadirkan lafaz-lafaz ini dari sisinya, atau redaksi-redaksi sedemikian ia gunakan, maka lafaz-lafaz dan redaksi serta susunannya juga bercorak Ilahi, kita akan berkata bahwa masalah ini kembali kepada permasalahan kefasihan dan elokuensi al-Qur’an yang sejatinya adalah kemukjizatan elokuensi al-Qur’an. Lalu kesimpulannya ia tidak dapat dipandang sebagai kemukjizatan dari aspek pembawanya. Kecuali diklaim bahwa kendati kita tidak dapat menetapkan bahwa kefasihan tersebut mustahil bersumber selain dari Tuhan, namun setidaknya, bagi Rasulullah Saw hal sedemikian mustahil adanya.

Dengan bersandar kepada aspek ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa lafaz-lafaz, redaksi-redaksi dan susunan-susunan al-Qur’an juga bersumber dari Allah Swt.

Empat aspek yang disebutkan terkait kemukjizatan kandungan al-Qur’an,[8] yang dapat ditetapkan hanyalah corak Ilahianya kandungan al-Qur’an.

Namun aspek kemukjizatan lafaz al-Qur’an ini – kemukjizatan elokuensi dan bilangan – menetapkan bahwa lafaz-lafaz dan susunan-susunan al-Qur’an juga bersumber dari Allah Swt.[9]


Contoh-contoh ayat.
y]yèt7sù ª!$# $\/#{äî ß]ysö7tƒ Îû ÇÚöF{$# ¼çmtƒÎŽãÏ9 y#øx. ͺuqムnouäöqy ÏmÅzr& 4 tA$s% #ÓtLn=÷ƒuq»tƒ ßN÷yftãr& ÷br& tbqä.r& Ÿ@÷WÏB #x»yd É>#{äóø9$# yͺuré'sù nouäöqy ÓŁr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBÏ»¨Y9$# ÇÌÊÈ  
31. kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya.[10] berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (Q.S. Al-Maidah : 31)
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ  
88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (Q.S. Al-Isra’ : 88)
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷ƒu $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÌÈ  
23. dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.[11] (Q.S. Al-Baqarah : 23)

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah dapat di ambil kesimpulan bahwa Al-Qur'an ini adalah Mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Kita tahu bahwa setiap Nabi diutus Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawa oleh Nabi.
Mukjizat ini selalu dikaitkan dengan keadaan masyarakat yang dihadapi tiap-tiap Nabi, setiap mukjizat bersifat menantang baik secara tegas maupun tidak. Oleh karena itu tantangan tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya. Itulah sebabnya jenis mukjizat yang diberikan kepada para Nabi selalu disesuaikan dengan keadaan yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditantang tersebut.
Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya

Daftar Pustaka
Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul Qur’an. Bandung: Humaniora
Al-Qathan, Manna’.1973. Al-Mabahis fi Ulumil Quran. Mesir: Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis
Ash-Shabuni, Muhammad Ali.1987. Pengantar Studi Al-Quran, terjemah H. Muhammad Khudhori Umar dan Muh. Matsna HS. Bandung: Al Ma’arif
Zarqani, Muhammad. Manahilul Irfan fi Ulumil Quran, Juz III. Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi, t.t.
Hasbunabi, Mansur. al-Kaun wa al-I’jaz fi al-Quran, Libanon: Dar el-Fikr al-Araby, tt.



[1] Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an. (Bandung: Humaniora 2011) hlm.  140
[2] Muhammad Ali Ash Shabuni. Pengantar Studi AlQuran, terjemah H. Muhammad Khudhori Umar dan Muh.
  Matsna HS (Bandung: Al Ma’arif, 1987), hlm. 117-118
[3] Manna’ al-Qathan, al-Mabahis fi Ulumil Quran, Mesir: Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis, 1973 hlm. 264-265.
[4] Muhammad Zarqani. Manahilul Irfan fi Ulumil Quran, Juz III. Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi, t.t. hlm. 332
[5] Manna’ al-Qathan. Mabahis fi ulumil Quran, hlm. 261
[6] Mansur Hasbunabi. al-Kaun wa al-I’jaz fi al-Quran, Libanon: Dar el-Fikr al-Araby, hlm. 19-20
[7] Sebagian orang juga menerima ucapan ini dan berkata: "Kendati kandungan al-Qur'an bersumber dari Tuhan (bercorak Ilahi) namun lafaz-lafaznya berasal dari Nabi Saw sendiri. Padahal ulama Islam semenjak dahulu hingga sekarang meyakini bahwa perbedaan antara hadis Qudsi dan al-Qur'an terdapat pada poin ini dimana kandungan hadis Qudsi berasal dari Tuhan dan lafaz-lafaznya dari manusia, Nabi Muhammad Saw. Sementara al-Qur'an lafaz-lafaznya juga bersumber dari Tuhan.
[8] Lihat indeks Kemukjizatan al-Qur'an
[9] Barangkali sebab penegasan ulama kita, semenjak dahulu hingga sekarang, terkait dengan kemukjizatan elokuensi al-Qur'an adalah mereka melihat terangnya petunjuknya.
[10] Dipahami dari ayat ini bahwa manusia banyak pula mengambil pelajaran dari alam dan jangan segan-segan  mengambil pelajaran dari yang lebih rendah tingkatan pengetahuannya.
[11] Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.