Kamis, 05 April 2012

fatwa

PENDAHULUAN

Latar belakang masalah

            Menjawab sebuah pertanyaan itu suatu hal yang tidak mudah. Adapun perlu adanya ilmu yang mendasar untuk bisa menjawab segala persoalan. Persoalan yang sangat rumit membuat kita pusing. Dengan berbagai macam pertanyaan, membuat kita dipaksa untuk menjawab. Oleh karena itu dalam menjawab mempunyai tiga pilihan yang perlu kita ketahui. Pertama, berbohong, dan ini apa lagi dalam bidang agama merupakan dosa besar. Kedua: menduga-duga atau mengira-ngira, karena kekaburan pengetahuan. Dalam menjawab seperti itu boleh diterima, tetapi Al-qur’an mengingatkan kepada kita bahwa  (Q.S Al-Hujurat : 12)

12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

 Bahkan al-Qur’an surat al-Njm : 28

28. dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.

Pilihan ketiga adalah menjawab pertanyaaan denagan pernyatan “saya tidak tahu”. Menjawab seperti inilah yang diajarkan Allah sesuai firmannya :

 

31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

32. mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."

            Bahkan sebaian ulama’ pun enggan dalam memberikan jawaban dengan harapan ada selainnya yang dapat memberikan ketenaangan, karena seperti sabda nabi yang disampaikan oleh abdullah bin Ja’far. “yang paling berani berfatwa diantara kamu adalah yang palung berani terhadap neraka.”

            Penulis bingung dari peryataan diatas, oleh karena itu penulis sedikit menguraikan wawasan dalam menjawab persoalan. Dalam memjawab persoalan mengenai agama itu dinamakan fatwa. Dari hal tersebut, kami akan mencari jawaban dari apa, bagaimana tentang fatwa.

Rumusan masalah

1.      Apa definisi Fatwa?

2.      Bagaimana cara mengerjakan fatwa?

3.      Apa saja kedudukan fatwa?

4.      Contoh-contoh fatwa.

Tujuan pembelajaran

Tujuan untuk mempelajari fatwa ini untuk memahami seuah persoalan yang berbeda. Akan tetapi dalam memahami pendapat yang berbeda, tidak akan menjadi persoalan yang paling benar, karena semuanya mempunyai dasar yang kuat. Oleh karena itu, agar lebih berhati-hati dalam menjawab sebuah persoalan.

 

PEMBAHASAN

Definisi Fatwa

Fatwa menurut bahasa berarti “jawaban mengenahi suatu kejadian (peristiwa)”, yang merupakan bentukan sebagaimana dikatakan zamakhsyari dalam al-Khasyasyaf dari kata (al-fataa/pemuda) dala usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah).

Sedangkan menurut pengertian  fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan  maupun kolektif.[1]

Pernyataan diatas sangat jelas, dan bisa kami uraikan bahwa fatwa adalah nasehat, atau petuah yang diberikan kepada yang bertanya baik pereorangan maupun kolektif. Hal  itu dapat kita bedakan antara menjawab atau menfatwakan sebuah persolan. Apabila kita menjawab sebuah pertanyan itu tanpa mempunyai dasar yang kuat itu bisa disebut menjawab. Adapun ketika kita menjawab pertanyaan berupa persolan itu didasari dengan dasar-dasar al-Qur’an dan Hadits.

Cara mengerjakan fatwa

Cara yang digunakan dalam mempergunakan fatwa ini tanpa fanatik dan taqlid, bebas dari pengaruh mazhab dan ikut-ikutan secara buta, baik pengaruh dari orang-orang dahulu maupun sekarang. Disamping menghormati ulama’- ulama’ dan ahli-ahli fiqh khususnya, sesuai dengan ajaran dan pesan mereka, agar mereka jangan ditiru atau meniru yang lainya, tetapi hendaknya mengambil masalah itu dari sumber yang mereka ambil.[2]

Cara yang demikian tidak mengaruskan bagi seorang ulama’ yang independen, bebas dan memiliki ilmu yang sederajat dengan ilmu para ulama’ terdahulu. Tetapi dalam hal demikian memungkinkan dan tidak dilarang dalam melakukan ijtihad. Oleh karena itu, Para ulama’ harus mempunyai pendapat (pandangan) yang berbeda, antara lain:

Pertama: tidak memandang suatu  masalah itu benar tanpa menunjukkan dalil yang kuat dan, karena pendapat itu tidak ada yang menentangnya. Hal itu tidak dapat dipakai  sebagai suatu pedoman, jika tidak disertai dalil.

Kedua: dapat menguatkan hal-hal yang khilaf dengan mempertimbangkan dalilnya dan melihat denagn teliti sanadnya, apakah kuat atau lemah? Sehingga dapat memilih mana yang sesuai dan dekat pada tujuan agama dan kepentingan masyarakat.

Hal ini tidaklah sulit bagi yang memiliki pengetahuan luas dibidang bahasa arab, ilmu agama dab syari’at misalnya ilmu tafsir hadis serta perbandingan, dan faham tujuan utama dari hukum-hukum agama.

Ketiga: bagi mujtahid harus memiki keahlian pada masalah-masalah tertantu dan sebagainya, sehingga dapat memberi dalil dan nash yang kuat atau masalah-masalah lain yang bersamaan, dan memunyai nash yang sama, atau dijadikannya suatu masalah yang penting, baik dan sebagainya, dari sumber-sumber yang memiliki hubungan dengan agama.

Dengan demikian, para pemberi fatwa (mufti) saling memahami sebuah pendapat yang ada dalilnya yang kuat. Ilmu dan pengetahuan yang wajib dimiliki seorang mufti bukanlah sagala-galanya, karena disamping ilmu harus ada amal, dan disamping amal harus ada perasaan takut kepada Allah SWT. Ilmu yang tidak membuahkan rasa takut dan taqwa kepada Allah tidak ada nilainya dalam timbangan kebenaran.[3]

Oleh karena itu, menjadi seorang mufti ini tidak sembarang menjadi mufti ketika menfatwakan persoalan. Untuk itu dijelaskan dalam al-Qur’an yang artinya “sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama.......”(Fathir: 28).

Kedudukan fatwa

Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat penting, karena mufti (pemberi fatwa) sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi merupakan pelanjut tugas nabi saw. Sehingga ia berkedudukan sebagai khalifah dan ahli waris beliau:

Yang artinya: “Ulama’ merupakan ahli waris para Nabi”

Seorang mufti menggantikan kedudukan Nabi Saw. Dalam menyampaikan hukum-hukum syari’at, mengajarkan manusia, dan memberi nasehat kepada mereka agar sadar dan berhati-hati, disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan  dari shahibusy-syari’ah (Nabi saw.), mufti jugamenggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil hukum-hukum melalui analisis dan ijtihadnya, sehingga jika dilihat dari sisi ini seorang mufti sebagaimana yang dikatakan Imam Syathibi  juga sebagai pencetus hukum yang wajib diikuti dan dilaksanakan keputusannya.
inilah Khafilah (pengganti tugas) yang sesungguhnya.[4]

Para ulama’ salaf r.a. telah mengetahui betapa mulia, agung, dan berpengaruhnya fatwa didalam agama Allah dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu mereka mengemukakan beberapa hal:

1.      Takut memberi fatwa

Mereka sangat takut dan berhati-hati dalam memberikan fatwa. Bahkan terkadang mereka berdiam diri dan tidak memfatwakan seuatu. Mereka menghormati orng yang mengatakan “aku tidak tahu” mengenai sesutu yang tidak diketahuinya, dan memarahi orang-orangyang lancang dalam menfatwakan tanpa mempunyai pengetahuan yang mendalam. Mereka bersikap demikian demi mengagungkan fatwa dan merasakan besarnya dampak yang ditimbulkan.

            Orang yang paling awal bersikap demikian adalah para sahabat. Banyak diantara mereka yang tidak mau memberikan jawaban terhadap sesuatu pertanyaan hingga didiskusikan kepada para sahabat lain, padahal mereka telah diberi karunia oleh Allah berua pikmiran  yang tajam, bersih, terbimbing, dan lurus.  Bagaimana mereka bersikap demikian, karena Rasulullah saw terkadang memberikan jawaban ketika ditanya tentang sesuatu sehingga beliau tanyakan kepada Malaikat jibril lebih dahulu.

            Ada sebuah peristiwa Al-Qasim bin Muhammad salah seorang dari fuqaha tujuh dimadinah, pernah ditanya tentang suatu permasalahan, lalu menjawab: “saya tidak mengetahui”. Kemudian sipenyanya berkata kepadanya “saya datang kepadamu karena saya tidak mengetahui orang yang lebih layak selain engkau” Al-Qasim menjawab, “janganlah engkau melihat panjangnya jenggotku dan banyak orang di sekelilingku . Demi Allah saya tidak mengetahui.” Lalu seorang tua dari Qurasy yang duduk disampingnya berkata’ “Wahai anak saudaraku, penuhilah hal itu. Demi Allah, pada haari itu aku tidak melihat orang yang lebih pandai daripadamu didalam majelis ini.” Lantas al-qasim berkata, “Demi Allah, seandainya lidahku dipoyon, maka yang demikian itu lebih aku sukai daripada aku mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti.”[5]

            Sungguh luar biasa dan mulianya orang yang mengagungkan fatwa. Dengan mengatakan “saya tidak tahu”. Hal itu tidak dijadikan pedoman untuk tidak mencari ilmu demi mengagungkan fatwa, tetapi jawaban itu hanyalah jawaban awal atau jawaban sementara menunggu petunjuk Allah untuk menjawab peroalan.

 

2.      Mengingkari Orang yang berfatwa Tanpa Berdasarkan Ilmu

Para salaf sangat meningkari orang yang terjun didalam bidang fatwa sementara dia tidak berkelayakan untuk melakukan hal itu. Mereka menganggap sikap yang demikian itu sebagai sesuatu celaah kerusakan dalam islam, bahkan merupakan kemungkaran besar yang wajib dicegah.

            Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan bahwa “barangsiapa memberi fatwa sedangkan dia tidak berkelayakan untuk berfatwa, maka dia berdosa dan berbuat maksiat. Demikian pula , barangsiapa dari kalangan penguasa yang mengakuinya, maka ia juga berarti telah berbuat maksiat.”

            Ibaratkan apabila pemerintah berkewajiban melarang orang yang tidak mengerti ilmu kedokteran untuk mengobati orang-orangsakit, maka bagaimana lagi terhadap orang yang tidak mengerti  al-Qur’an dan as-sunnah serta tidak mengerti agama?.

3.      Ilmu dan Pengetahuan Mufti

Mufti (ahli fatwa) atau faqih (ahli fiqh)  yang memnggantikan tugas Nabi saw. Bahkan sebagai penerima mandat dari  Allah SWT (untuk menyampaikan agama). Sudah layaknya memiliki pengetahuan yang luas tentang islam, menguasai dalil-dalil hukum islam, mengerti bahasa Arab dan sastranya. Oleh karena itu, selain ,engerti tentang fiqih dan mempunyai kemampuan untuk melakukan istimbath (menggali dan mencetuskan hukum dari dalil-dalil dan kaidah-kaidahnya).

“Tidak halal seseorang yang memberikan fatwa tentang agama Allah, kecuali ia mengerti seluk beluk kitab Allah : tentang nasikh dan mansukh-Nya,  muhkam dan mutasyabih-Nya, takwil dan tanzil-Nya, makiyah dan madaniahnya, apa yang dikehendakinya, dan dalam hal apa ayat tersebut diturunkan. Setelah itu, ia mengerti tentang hadits Rasulullah saw. Mengerti tentang nasikh dan mansukh-nya, mengerti seluk-beluk hadits sebagaimana seluk-beluk al-Qur’an, mengerti bahasa Arab dan mengerti nilai rasa bahasa Arab, mengerti persoalan (perangkat) yang diperlukan oleh ilmu dan al-Qur’an. Setelah itu, ia menghormati perbedaan pendapat para ahli pikir, dan punya  potensi untuk berfatwa. Kalau semua syarat tersebut ada pada dirinya, maka bolehlah ia berbicara dan berfatwa tentang halal dan haram. Namun, jika tidak demikian , ia boleh berbicara ihwal ilmu tetapi tidak boleh memberi fatwa.”[6]

Definisi dan Syarat-syarat Mufti

Secara sederhana ifta’ (memberikan fatwa) dapat diartikan sebagai “usaha memberikan pernjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”. Sedangkan mufti sendiri adalah orang yang berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat.

Umat akan selamat bila ia memberikan fatwa yang benar dan akan tersesat bila ia salah dalam memebrikan fatwa. Oleh dengan demikian ia harus memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat seorang mufti dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

1.      Syarat umum. Karena ia akan menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan hukum syara’dan pelaksanaannya maka ia haruslaah seorang mukalaf yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya.

      2.      Syarat keilmuan, yaitu bahwa ia ahli dan memiliki kemampuan untuk berijtihad. Untuk itu ia harus memiliki syarat-syarat sebagaimana syarat yang berlaku bagi seorang mujtahid antara lain  mengetahui dalil-dalil sam’i dan dalil-dalil aqli.

      3.      Syarat kepribadian, yaitu adil dan dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut dari seorang mufti karena secara langsung ia akan menjadi panutan umat dalam beragama.

      4.      Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai sebagai ulama’ panutan yang oleh al-hamidi diuaraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang dan berkecukupan. Ditambahkan sifat lain oleh imam ahmad sebagaimana dinukil oleh Al-Qoyyim yaitu: mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat.

Selanjutnya muncul permasalahan, bolehkan seorang seseorang yang belum mencapai tingakat mujtahid memberikan fatwa?. Dalam hal ini meringkas beberapa pendapat, yaitu:

      1.      Orang yang memiliki kemampuan untuk tafri’ dan tarjih meskipun belum mencapai derajat  mujtahid (maksudnya adalah mujtahid mutlak) boleh berfatwa dengan berpedoman kepada madzhab imam mujtahid yang diikutinya dengan ketentuan ia memahami secara baik madzhab imam yang dijadikan sebagai  rujukan dan meyakini pendapat imamnya tersebut lebih kuat.

       2.      Tidak boleh orang dalam tingakatan seperti ini memberikan fatwa karena ia belum memenuhi kemampuan berijtihad. Memberikan fatwa itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang mencapai derajat mujtahid.

       3.      Orang yang belum mencapai derajat mujtahid boleh memberikan fatwa bila di wilayah itu tidak ada orang yang mencapai derajat mujtahid yang memberikan fatwa. Karena dalam keadaan seperti ini sudah terdesak dan jika tidak diperbolehkan maka urusan hukum akan terlantar.          
 4.
      Seorang muqallid boleh membrikan fatwa meski belum mempunyai kemampuan untuk tafri’ dan tarjih. Karena tugasnya hanya menukilkan pendapat imamnya waktu memberi fatwa, meski ia tidak menjelaskan sumber rujukannya. Inilah yang sering berlaku waktu ini.[7]

 

 

Daftar pustaka

Qardhawi, yusuf. 1997. Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan. Jakarta: gema insani press

Qardhawi, yusuf.1996. fatwa qarhawi:  permasalahan, pemecahan dan hikmah. Surabaya: Risalah Gusti

Syarifudin, Amir. 2008. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana

 



[1]  Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan, hlm.5

[2]  fatwa qardhawi permasalahan, pemecahan dan hikmah, hlm.1

[3] Fatwa: antara penilitian dan kecerobohan, hlm. 33

[4] Lihat al-Muwafaqat, karya asy-Syathibi, jus 4, hlm.244-246, dengan tahqiq Syeh Abdullah Daraz.

[5] Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan, hlm. 17

[6] Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan hlm. 25

[7] Prof. Dr. H. Amir Syarifudin. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2008). Hal. 457-458

Tidak ada komentar:

Posting Komentar