fatwa
PENDAHULUAN
Latar
belakang masalah
Menjawab sebuah pertanyaan itu suatu
hal yang tidak mudah. Adapun perlu adanya ilmu yang mendasar untuk bisa
menjawab segala persoalan. Persoalan yang sangat rumit membuat kita pusing. Dengan
berbagai macam pertanyaan, membuat kita dipaksa untuk menjawab. Oleh karena itu
dalam menjawab mempunyai tiga pilihan yang perlu kita ketahui. Pertama,
berbohong, dan ini apa lagi dalam bidang agama merupakan dosa besar. Kedua: menduga-duga
atau mengira-ngira, karena kekaburan pengetahuan. Dalam menjawab seperti itu
boleh diterima, tetapi Al-qur’an mengingatkan kepada kita bahwa (Q.S Al-Hujurat : 12)
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.
Bahkan al-Qur’an surat al-Njm : 28
28. dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran.
Pilihan
ketiga adalah menjawab pertanyaaan denagan pernyatan “saya tidak tahu”.
Menjawab seperti inilah yang diajarkan Allah sesuai firmannya :
31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!"
32. mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Bahkan sebaian
ulama’ pun enggan dalam memberikan jawaban dengan harapan ada selainnya yang
dapat memberikan ketenaangan, karena seperti sabda nabi yang disampaikan oleh
abdullah bin Ja’far. “yang paling berani berfatwa diantara kamu adalah yang
palung berani terhadap neraka.”
Penulis bingung
dari peryataan diatas, oleh karena itu penulis sedikit menguraikan wawasan
dalam menjawab persoalan. Dalam memjawab persoalan mengenai agama itu dinamakan
fatwa. Dari hal tersebut, kami akan mencari jawaban dari apa, bagaimana tentang
fatwa.
Rumusan masalah
1.
Apa
definisi Fatwa?
2.
Bagaimana
cara mengerjakan fatwa?
3.
Apa
saja kedudukan fatwa?
4.
Contoh-contoh
fatwa.
Tujuan pembelajaran
Tujuan untuk mempelajari fatwa ini untuk memahami seuah persoalan
yang berbeda. Akan tetapi dalam memahami pendapat yang berbeda, tidak akan
menjadi persoalan yang paling benar, karena semuanya mempunyai dasar yang kuat.
Oleh karena itu, agar lebih berhati-hati dalam menjawab sebuah persoalan.
PEMBAHASAN
Definisi
Fatwa
Fatwa
menurut bahasa berarti “jawaban mengenahi suatu kejadian (peristiwa)”, yang
merupakan bentukan sebagaimana dikatakan zamakhsyari dalam al-Khasyasyaf
dari kata (al-fataa/pemuda) dala usianya, dan sebagai kata kiasan
(metafora) atau (isti’arah).
Sedangkan
menurut pengertian fatwa menurut
syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban
dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak,
baik perseorangan maupun kolektif.
Pernyataan
diatas sangat jelas, dan bisa kami uraikan bahwa fatwa adalah nasehat, atau
petuah yang diberikan kepada yang bertanya baik pereorangan maupun kolektif.
Hal itu dapat kita bedakan antara
menjawab atau menfatwakan sebuah persolan. Apabila kita menjawab sebuah
pertanyan itu tanpa mempunyai dasar yang kuat itu bisa disebut menjawab. Adapun
ketika kita menjawab pertanyaan berupa persolan itu didasari dengan dasar-dasar
al-Qur’an dan Hadits.
Cara
mengerjakan fatwa
Cara yang digunakan dalam mempergunakan fatwa ini tanpa fanatik dan
taqlid, bebas dari pengaruh mazhab dan ikut-ikutan secara buta, baik pengaruh
dari orang-orang dahulu maupun sekarang. Disamping menghormati ulama’- ulama’
dan ahli-ahli fiqh khususnya, sesuai dengan ajaran dan pesan mereka, agar
mereka jangan ditiru atau meniru yang lainya, tetapi hendaknya mengambil
masalah itu dari sumber yang mereka ambil.
Cara yang demikian tidak mengaruskan bagi seorang ulama’ yang
independen, bebas dan memiliki ilmu yang sederajat dengan ilmu para ulama’
terdahulu. Tetapi dalam hal demikian memungkinkan dan tidak dilarang dalam
melakukan ijtihad. Oleh karena itu, Para ulama’ harus mempunyai pendapat
(pandangan) yang berbeda, antara lain:
Pertama: tidak memandang suatu
masalah itu benar tanpa menunjukkan dalil yang kuat dan, karena pendapat
itu tidak ada yang menentangnya. Hal itu tidak dapat dipakai sebagai suatu pedoman, jika tidak disertai
dalil.
Kedua:
dapat menguatkan hal-hal yang khilaf dengan mempertimbangkan
dalilnya dan melihat denagn teliti sanadnya, apakah kuat atau lemah? Sehingga
dapat memilih mana yang sesuai dan dekat pada tujuan agama dan kepentingan
masyarakat.
Hal
ini tidaklah sulit bagi yang memiliki pengetahuan luas dibidang bahasa arab,
ilmu agama dab syari’at misalnya ilmu tafsir hadis serta perbandingan, dan
faham tujuan utama dari hukum-hukum agama.
Ketiga: bagi mujtahid harus memiki keahlian pada masalah-masalah tertantu
dan sebagainya, sehingga dapat memberi dalil dan nash yang kuat atau
masalah-masalah lain yang bersamaan, dan memunyai nash yang sama, atau
dijadikannya suatu masalah yang penting, baik dan sebagainya, dari
sumber-sumber yang memiliki hubungan dengan agama.
Dengan demikian, para pemberi fatwa (mufti) saling memahami sebuah
pendapat yang ada dalilnya yang kuat. Ilmu dan pengetahuan yang wajib dimiliki
seorang mufti bukanlah sagala-galanya, karena disamping ilmu harus ada amal,
dan disamping amal harus ada perasaan takut kepada Allah SWT. Ilmu yang tidak
membuahkan rasa takut dan taqwa kepada Allah tidak ada nilainya dalam timbangan
kebenaran.
Oleh
karena itu, menjadi seorang mufti ini tidak sembarang menjadi mufti ketika
menfatwakan persoalan. Untuk itu dijelaskan dalam al-Qur’an yang artinya “sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama.......”(Fathir:
28).
Kedudukan
fatwa
Fatwa
menempati kedudukan yang strategis dan sangat penting, karena mufti (pemberi
fatwa) sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi merupakan pelanjut tugas
nabi saw. Sehingga ia berkedudukan sebagai khalifah dan ahli waris beliau:
Yang
artinya: “Ulama’ merupakan ahli waris para Nabi”
Seorang
mufti menggantikan kedudukan Nabi Saw. Dalam menyampaikan hukum-hukum syari’at,
mengajarkan manusia, dan memberi nasehat kepada mereka agar sadar dan
berhati-hati, disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan dari shahibusy-syari’ah (Nabi saw.),
mufti jugamenggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukum yang
digali dari dalil-dalil hukum-hukum melalui analisis dan ijtihadnya, sehingga
jika dilihat dari sisi ini seorang mufti sebagaimana yang dikatakan Imam
Syathibi juga sebagai pencetus hukum
yang wajib diikuti dan dilaksanakan keputusannya.
inilah Khafilah (pengganti tugas) yang sesungguhnya.
Para
ulama’ salaf r.a. telah mengetahui betapa mulia, agung, dan berpengaruhnya
fatwa didalam agama Allah dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu mereka
mengemukakan beberapa hal:
1.
Takut
memberi fatwa
Mereka sangat takut dan berhati-hati dalam memberikan fatwa. Bahkan
terkadang mereka berdiam diri dan tidak memfatwakan seuatu. Mereka menghormati
orng yang mengatakan “aku tidak tahu” mengenai sesutu yang tidak
diketahuinya, dan memarahi orang-orangyang lancang dalam menfatwakan tanpa
mempunyai pengetahuan yang mendalam. Mereka bersikap demikian demi mengagungkan
fatwa dan merasakan besarnya dampak yang ditimbulkan.
Orang yang paling
awal bersikap demikian adalah para sahabat. Banyak diantara mereka yang tidak
mau memberikan jawaban terhadap sesuatu pertanyaan hingga didiskusikan kepada
para sahabat lain, padahal mereka telah diberi karunia oleh Allah berua
pikmiran yang tajam, bersih, terbimbing,
dan lurus. Bagaimana mereka bersikap
demikian, karena Rasulullah saw terkadang memberikan jawaban ketika ditanya
tentang sesuatu sehingga beliau tanyakan kepada Malaikat jibril lebih dahulu.
Ada sebuah
peristiwa Al-Qasim bin Muhammad salah seorang dari fuqaha tujuh dimadinah,
pernah ditanya tentang suatu permasalahan, lalu menjawab: “saya tidak
mengetahui”. Kemudian sipenyanya berkata kepadanya “saya datang kepadamu
karena saya tidak mengetahui orang yang lebih layak selain engkau” Al-Qasim
menjawab, “janganlah engkau melihat panjangnya jenggotku dan banyak orang di
sekelilingku . Demi Allah saya tidak mengetahui.” Lalu seorang tua dari
Qurasy yang duduk disampingnya berkata’ “Wahai anak saudaraku, penuhilah hal
itu. Demi Allah, pada haari itu aku tidak melihat orang yang lebih pandai
daripadamu didalam majelis ini.” Lantas al-qasim berkata, “Demi Allah,
seandainya lidahku dipoyon, maka yang demikian itu lebih aku sukai daripada aku
mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti.”
Sungguh luar biasa
dan mulianya orang yang mengagungkan fatwa. Dengan mengatakan “saya tidak
tahu”. Hal itu tidak dijadikan pedoman untuk tidak mencari ilmu demi
mengagungkan fatwa, tetapi jawaban itu hanyalah jawaban awal atau jawaban
sementara menunggu petunjuk Allah untuk menjawab peroalan.
2.
Mengingkari
Orang yang berfatwa Tanpa Berdasarkan Ilmu
Para salaf sangat meningkari orang yang terjun didalam bidang fatwa
sementara dia tidak berkelayakan untuk melakukan hal itu. Mereka menganggap
sikap yang demikian itu sebagai sesuatu celaah kerusakan dalam islam, bahkan
merupakan kemungkaran besar yang wajib dicegah.
Oleh karena itu,
para ulama’ menetapkan bahwa “barangsiapa memberi fatwa sedangkan dia tidak
berkelayakan untuk berfatwa, maka dia berdosa dan berbuat maksiat. Demikian
pula , barangsiapa dari kalangan penguasa yang mengakuinya, maka ia juga
berarti telah berbuat maksiat.”
Ibaratkan apabila
pemerintah berkewajiban melarang orang yang tidak mengerti ilmu kedokteran
untuk mengobati orang-orangsakit, maka bagaimana lagi terhadap orang yang tidak
mengerti al-Qur’an dan as-sunnah serta
tidak mengerti agama?.
3.
Ilmu
dan Pengetahuan Mufti
Mufti
(ahli fatwa) atau faqih (ahli fiqh) yang
memnggantikan tugas Nabi saw. Bahkan sebagai penerima mandat dari Allah SWT (untuk menyampaikan agama). Sudah
layaknya memiliki pengetahuan yang luas tentang islam, menguasai dalil-dalil
hukum islam, mengerti bahasa Arab dan sastranya. Oleh karena itu, selain
,engerti tentang fiqih dan mempunyai kemampuan untuk melakukan istimbath
(menggali dan mencetuskan hukum dari dalil-dalil dan kaidah-kaidahnya).
“Tidak halal seseorang yang memberikan fatwa tentang agama Allah,
kecuali ia mengerti seluk beluk kitab Allah : tentang nasikh dan mansukh-Nya, muhkam dan mutasyabih-Nya, takwil
dan tanzil-Nya, makiyah dan madaniahnya, apa yang dikehendakinya,
dan dalam hal apa ayat tersebut diturunkan. Setelah itu, ia mengerti tentang
hadits Rasulullah saw. Mengerti tentang nasikh dan mansukh-nya,
mengerti seluk-beluk hadits sebagaimana seluk-beluk al-Qur’an, mengerti bahasa
Arab dan mengerti nilai rasa bahasa Arab, mengerti persoalan (perangkat) yang
diperlukan oleh ilmu dan al-Qur’an. Setelah itu, ia menghormati perbedaan
pendapat para ahli pikir, dan punya
potensi untuk berfatwa. Kalau semua syarat tersebut ada pada dirinya,
maka bolehlah ia berbicara dan berfatwa tentang halal dan haram. Namun, jika
tidak demikian , ia boleh berbicara ihwal ilmu tetapi tidak boleh memberi
fatwa.”
Definisi dan
Syarat-syarat Mufti
Secara sederhana ifta’ (memberikan fatwa) dapat diartikan sebagai “usaha
memberikan pernjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang
belum mengetahuinya”. Sedangkan mufti sendiri adalah orang yang berkedudukan
sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan
diamalkan oleh umat.
Umat akan selamat bila ia memberikan fatwa yang benar dan akan tersesat
bila ia salah dalam memebrikan fatwa. Oleh dengan demikian ia harus memiliki
syarat-syarat tertentu. Syarat seorang mufti dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu:
1. Syarat umum. Karena ia
akan menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan hukum syara’dan pelaksanaannya
maka ia haruslaah seorang mukalaf yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya.
2. Syarat keilmuan, yaitu
bahwa ia ahli dan memiliki kemampuan untuk berijtihad. Untuk itu ia harus
memiliki syarat-syarat sebagaimana syarat yang berlaku bagi seorang mujtahid
antara lain mengetahui dalil-dalil sam’i dan dalil-dalil aqli.
3. Syarat kepribadian,
yaitu adil dan dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut dari seorang mufti
karena secara langsung ia akan menjadi panutan umat dalam beragama.
4. Syarat pelengkap dalam
kedudukannya sebagai sebagai ulama’ panutan yang oleh al-hamidi diuaraikan
antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum
syara’, bersifat tenang dan berkecukupan. Ditambahkan sifat lain oleh imam
ahmad sebagaimana dinukil oleh Al-Qoyyim yaitu: mempunyai niat dan i’tikad yang
baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat.
Selanjutnya muncul
permasalahan, bolehkan seorang seseorang yang belum mencapai tingakat mujtahid
memberikan fatwa?. Dalam hal ini meringkas beberapa pendapat, yaitu:
1. Orang yang memiliki
kemampuan untuk tafri’ dan tarjih meskipun belum mencapai derajat
mujtahid (maksudnya adalah mujtahid mutlak) boleh berfatwa dengan berpedoman
kepada madzhab imam mujtahid yang diikutinya dengan ketentuan ia memahami
secara baik madzhab imam yang dijadikan sebagai rujukan dan meyakini
pendapat imamnya tersebut lebih kuat.
2. Tidak boleh orang dalam
tingakatan seperti ini memberikan fatwa karena ia belum memenuhi kemampuan
berijtihad. Memberikan fatwa itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang
mencapai derajat mujtahid.
3. Orang yang belum
mencapai derajat mujtahid boleh memberikan fatwa bila di wilayah itu tidak ada
orang yang mencapai derajat mujtahid yang memberikan fatwa. Karena dalam
keadaan seperti ini sudah terdesak dan jika tidak diperbolehkan maka urusan
hukum akan terlantar.
4. Seorang muqallid boleh
membrikan fatwa meski belum mempunyai kemampuan untuk tafri’ dan tarjih. Karena
tugasnya hanya menukilkan pendapat imamnya waktu memberi fatwa, meski ia tidak
menjelaskan sumber rujukannya. Inilah yang sering berlaku waktu ini.
Daftar
pustaka
Qardhawi,
yusuf. 1997. Fatwa: antara ketelitian dan kecerobohan. Jakarta: gema
insani press
Qardhawi,
yusuf.1996. fatwa qarhawi: permasalahan, pemecahan dan hikmah.
Surabaya: Risalah Gusti
Syarifudin,
Amir. 2008. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar